Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pada Padamnya Lampu-Lampu Listrik di Jalan (Karya Suripto Harsah)

Puisi “Pada Padamnya Lampu-Lampu Listrik di Jalan” karya Suripto Harsah bercerita tentang dua sosok (mungkin sepasang kekasih atau sahabat) yang ...
Pada Padamnya Lampu-Lampu Listrik di Jalan

pada padamnya lampu-lampu listrik di jalan
adalah berita yang pelahan kabur dalam sepi
bulan pun jatuh. Di sisi dingin dan detak waktu
dan duka membiarkan ruang-ruang tetap bisu

kita berdiri di samping taman dan hari lampau
merokok sunyi. Menatap ke depan bayangan rahasia
halaman penyap, beribu kalimat tertiarap
eh, sekali-kali kita bergumul dalam gelap

1970

Sumber: Horison (November, 1974)

Analisis Puisi:

Puisi berjudul “Pada Padamnya Lampu-Lampu Listrik di Jalan” karya Suripto Harsah adalah refleksi puitik tentang bagaimana sebuah peristiwa sepele — padamnya lampu jalan — dapat menjelma menjadi momen kontemplatif, menggugah kenangan, kerinduan, bahkan pengakuan akan kekosongan eksistensial manusia di tengah modernitas. Dalam bentuk dua bait dengan masing-masing empat baris, penyair berhasil mengisi ruang puisi yang ringkas dengan kedalaman makna yang pekat dan sarat perenungan.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah kesunyian eksistensial yang muncul dari kegelapan dan keterputusan. Ketiadaan cahaya menjadi lambang dari putusnya relasi, hilangnya arah, dan kebekuan batin. Pada saat lampu-lampu padam, bukan hanya ruang yang menjadi gelap, tetapi juga batin, komunikasi, bahkan memori tentang masa lalu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini mencerminkan kesadaran akan kefanaan dan keterasingan manusia. Ketika lampu-lampu padam, seolah dunia kehilangan denyut. Dalam gelap, pembicaraan tak lagi berarti, suara menjadi kabur, dan manusia hanya bisa berdiri mematung bersama kenangan.

Kata-kata seperti “berita yang pelahan kabur dalam sepi” menyiratkan bahwa informasi atau makna dalam hidup bisa perlahan-lahan menghilang ketika cahaya (baik harfiah maupun metaforis) padam. Ini menggambarkan bagaimana dalam kehidupan yang sunyi dan gelap, banyak hal—termasuk hubungan, kata-kata, bahkan kebenaran—bisa hilang makna dan arah.

Puisi ini bercerita tentang dua sosok (mungkin sepasang kekasih atau sahabat) yang berdiri dalam gelap setelah lampu-lampu jalan padam. Mereka tidak sedang melakukan sesuatu secara aktif, melainkan membiarkan sunyi dan gelap mengisi ruang di sekitar mereka, sambil menatap ke arah yang tidak pasti. Hal ini digambarkan dalam baris:

"kita berdiri di samping taman dan hari lampau / merokok sunyi. Menatap ke depan bayangan rahasia"

Di sini tergambar bahwa tokoh-tokoh dalam puisi ini sedang mengalami momen yang khidmat dan introspektif, dalam suasana yang sangat minim gerak, namun penuh makna.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang ditangkap dalam puisi ini adalah hening, sunyi, dingin, dan sedikit getir. Ada nuansa eksistensial yang pekat, seolah segala sesuatu menjadi tak berarti dalam kegelapan. Kata-kata seperti “detak waktu,” “bisu,” “bayangan rahasia,” dan “tertierap” mempertegas suasana diam yang menyelimuti batin dan dunia luar secara bersamaan.

Amanat atau Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan bahwa di balik peristiwa sehari-hari yang sederhana, seperti padamnya lampu di jalan, tersimpan kemungkinan kontemplasi yang dalam. Ada ajakan untuk menyadari kekosongan yang kerap tersembunyi di balik terang, untuk menerima gelap sebagai bagian dari eksistensi manusia.

Secara lebih luas, bisa pula diartikan bahwa dalam relasi antarindividu, ada saat-saat ketika kata-kata tidak lagi berfungsi, dan hanya kehadiran dalam diam yang menjadi penanda keterhubungan yang tulus.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang menonjol:
  • Tipografi: Tersusun dalam 2 bait, masing-masing 4 baris (total 8 baris), puisi ini padat dan ringkas, meniru bentuk momen yang cepat namun mendalam.
  • Nada dan ritme: Mengalir lembut, menyerupai gumaman batin.
  • Pilihan diksi: Penuh muatan puitik dan simbolis, seperti “bisu,” “rahasia,” “detak waktu,” dan “merokok sunyi.”

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditori, meskipun semuanya samar dan redup, sesuai dengan nuansa gelapnya. Contoh:
  • “lampu-lampu listrik di jalan” → visual gelap.
  • “bulan pun jatuh” → metafora kehilangan cahaya alami.
  • “detak waktu” → imaji auditori dari waktu yang berjalan dalam hening.
  • “halaman penyap, beribu kalimat tertiarap” → imaji yang menunjukkan kegagalan komunikasi.

Majas

Puisi ini memanfaatkan berbagai majas, antara lain:
  • Personifikasi: “duka membiarkan ruang-ruang tetap bisu” memberi sifat manusia pada duka.
  • Metafora: “bulan pun jatuh” sebagai simbol hilangnya harapan atau ketenangan.
  • Hiperbola: “beribu kalimat tertiarap” menggambarkan kedalaman kegagalan komunikasi.
Puisi “Pada Padamnya Lampu-Lampu Listrik di Jalan” bukan sekadar penggambaran peristiwa teknis — ini adalah renungan tentang gelap, sunyi, dan makna yang perlahan-lahan menghilang dari kehidupan modern. Dengan pilihan kata yang puitik dan suasana yang tenang namun tajam, Suripto Harsah menyodorkan puisi sebagai ruang bagi kita merenungkan diri sendiri, relasi, dan ruang-ruang gelap di dalam dan di luar diri.

Melalui puisi ini, pembaca diajak menyadari bahwa diam dan gelap bukan hanya kekosongan, melainkan momen kontemplasi yang dalam, dan kadang lebih jujur dari segala terang yang gemerlap.

Puisi: Pada Padamnya Lampu-Lampu Listrik di Jalan
Puisi: Pada Padamnya Lampu-Lampu Listrik di Jalan
Karya: Suripto Harsah
© Sepenuhnya. All rights reserved.