Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Rumah Kontrakan (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Rumah Kontrakan" karya Joko Pinurbo bukan hanya menyodorkan kisah harfiah tentang sewa-menyewa tempat tinggal. Di balik kelakar dan narasi ...
Rumah Kontrakan
(untuk ulang tahun SDD)

Tubuhku adalah rumah kontrakan yang sudah sekian waktu
aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku.
Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa
membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman,
syukur dilengkapi taman dan kolam renang.

Tadi malam si empunya rumah datang dan marah-marah.
“Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk memperbaiki rumah ini.”
"Maaf Bu," aku menjawab malu, "uang saya baru saja habis
buat bayar utang. Sabarlah sebentar, bulan depan pasti
sudah saya lunasi. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri."

Pada hari yang dijanjikan si empunya rumah datang lagi.
Ia marah besar melihat rumahnya makin rusak dan berantakan.
"Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk merobohkan rumah ini."

Dengan susah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak.
Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak.
Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya
sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana.
Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga.

"Orgil, aku tak akan pernah
merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini."

2001

Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)

Analisis Puisi:

Puisi "Rumah Kontrakan" karya Joko Pinurbo bukan hanya menyodorkan kisah harfiah tentang sewa-menyewa tempat tinggal. Di balik kelakar dan narasi sederhana yang ditawarkan, tersimpan kedalaman refleksi tentang tubuh, kehidupan, tanggung jawab, dan kematian. Joko Pinurbo seperti biasa memanfaatkan keseharian sebagai alat untuk menyampaikan renungan eksistensial yang getir, tapi tidak kehilangan daya jenakanya.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kehidupan sebagai pinjaman, terutama tubuh manusia yang diibaratkan sebagai rumah kontrakan. Penyair menyoroti sementara-nya kehidupan di dunia, serta kepemilikan semu atas tubuh yang sebenarnya bukan milik kita sepenuhnya. Selain itu, puisi ini juga menggambarkan tema tanggung jawab hidup, keharusan merawat tubuh dan membayar ‘sewa’-nya sebelum ajal tiba.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh aku liris yang menyadari bahwa tubuhnya hanyalah rumah kontrakan. Ia telah lama menempatinya, bahkan sampai lupa bahwa rumah itu bukan miliknya. Ia berharap bisa suatu hari “membangun rumah sendiri”—sebuah simbol atas keinginan memperbaiki kehidupan atau memperoleh tempat yang abadi dan nyaman. Namun, pemilik rumah (yang dapat dimaknai sebagai Tuhan, atau simbol waktu dan kematian) datang menagih sewa dan memperingatkan kerusakan rumah itu.

Dalam situasi itu, si “aku” berusaha membayar dan memperbaiki rumah tersebut. Namun pada akhirnya, ketika rumah itu sudah diperbarui, ia justru telah pergi—kemungkinan besar telah meninggal dunia. Ironisnya, pemilik rumah yang awalnya ingin merobohkannya malah memutuskan tinggal di dalam rumah itu, seolah sang “aku” telah meninggalkan warisan kebajikan atau nilai.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menyentuh kesadaran spiritual dan eksistensial:
  • Tubuh hanyalah titipan, dan manusia punya tanggung jawab moral serta spiritual untuk merawatnya.
  • Kematian tidak bisa ditunda; ia bisa datang kapan saja, bahkan saat manusia baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
  • Warisan paling berarti bukanlah materi, tapi perbaikan dan perwujudan cinta pada hal-hal kecil dan sederhana, seperti memperbaiki “rumah”.
  • Kehidupan dan kematian tidak selalu datang dalam garis yang rapi dan logis. Kadang saat kita merasa sudah siap, waktunya justru telah habis.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual yang sederhana namun kuat:
  • “Tubuhku adalah rumah kontrakan” menghadirkan gambaran tubuh sebagai bangunan sementara, yang suatu hari harus dikembalikan.
  • “Membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman, syukur dilengkapi taman dan kolam renang” menciptakan imajinasi ideal akan kehidupan yang sempurna, mungkin surga sebagai tempat yang dituju setelah mati.
  • “Rumah makin rusak dan berantakan” adalah imaji nyata dari tubuh yang menua atau sakit.
  • “Kupugar-kurombak” adalah bentuk tindakan pemulihan diri, mungkin lewat pertobatan atau perbaikan sikap.
  • “Penghuninya sudah tak ada di sana. Ia sudah pulang kampung” menyampaikan gambaran puitik tentang kematian, atau kepergian menuju asal.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas penting:
  • Metafora – Seluruh puisi bertumpu pada majas metafora: tubuh diibaratkan sebagai rumah kontrakan.
  • Personifikasi – Rumah dipersonifikasikan seolah bisa dipugar, marah, dan membuat keputusan (“Aku akan tinggal di rumahmu ini”).
  • Ironi – Ketika rumah sudah diperbaiki dan layak huni, justru penghuninya sudah tiada.
  • Sarkasme halus – Terlihat dalam penyebutan “Orgil” (kemungkinan plesetan dari “orang gila”) dan bentuk dialog antara penyewa dan pemilik rumah yang absurd namun menyentuh.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini campuran antara humor dan kegetiran. Gaya bahasa naratif yang ringan membawa pembaca untuk tersenyum di awal, tapi kemudian dibawa ke sebuah suasana murung dan menyentuh, terutama saat disadari bahwa sang tokoh aku telah pergi. Puisi ini seperti menghadirkan napas kematian yang halus, namun tetap memberi ruang bagi kehangatan dan kenangan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Dari puisi Rumah Kontrakan, kita dapat menarik pesan moral dan spiritual yang mendalam:
  • Jagalah tubuh dan hidupmu seperti menjaga rumah orang lain yang kau pinjam. Karena tubuh bukan milik abadi kita, dan pada akhirnya kita harus mengembalikannya dalam kondisi terbaik.
  • Jangan tunda hal-hal baik, termasuk memperbaiki diri, karena waktu tidak akan menunggu.
  • Seringkali, kita meninggalkan sesuatu yang berharga bagi orang lain, bahkan saat kita sudah tidak lagi di sana. Maka hiduplah dengan penuh tanggung jawab dan kebaikan.
Puisi "Rumah Kontrakan" karya Joko Pinurbo adalah karya yang berhasil menyisipkan renungan mendalam dalam kemasan sederhana. Ia berbicara soal tubuh, kehidupan, utang-piutang eksistensial, bahkan kematian, tanpa kehilangan nada humor yang khas. Melalui metafora rumah kontrakan, puisi ini mengajak kita untuk menyadari bahwa hidup adalah masa sewa yang terbatas. Oleh karena itu, kita sepatutnya mengisi kontrak kehidupan ini dengan tanggung jawab, cinta, dan persiapan untuk ‘pulang kampung’.

"Puisi: Rumah Kontrakan (Karya Joko Pinurbo)"
Puisi: Rumah Kontrakan
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.