Analisis Puisi:
Puisi “Yang Pergi dan Yang Tinggal” karya Fridolin Ukur adalah puisi kontemplatif yang merefleksikan dua sisi eksistensi manusia: mereka yang telah meninggalkan dunia, dan mereka yang masih hidup dalam pusaran waktu. Dalam larik-larik yang padat makna, penyair menggambarkan pergulatan moral, kerinduan akan makna kekal, dan kritik terhadap kehidupan manusia yang larut dalam pencarian fana. Puisi ini menyentuh sisi spiritual dan eksistensial sekaligus, serta menghadirkan perenungan mendalam bagi siapa pun yang membacanya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kontras antara kematian yang membawa kedamaian dan kehidupan yang masih diracuni oleh penderitaan, nafsu, dan kesia-siaan. Dalam narasi puitisnya, Fridolin Ukur menyodorkan dua gambaran: mereka yang telah “pergi” dan bebas dari racun duniawi, serta mereka yang masih “tinggal” dan terus dicekik oleh kesementaraan dan kerusakan moral.
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan sejumlah makna tersirat yang dalam:
Kematian bukan akhir yang menyedihkan, melainkan pelepasan dari kepahitan hidup. Dalam larik pembuka dan penutup:
“Yang pergi tidak lagi akan mengalami / kepahitan yang masih terus meracuni”,
penyair menyiratkan bahwa dunia ini penuh racun—baik secara literal maupun metaforis—dan bahwa kepergian (kematian) membebaskan manusia dari itu.
Manusia hidup sering tanpa kesadaran akan kekekalan. Mereka menari dalam dosa, mengejar kuasa, bercinta dengan nafsu, tanpa menyadari bahwa yang sejati tersembunyi di bawah langkah kaki mereka sendiri—dekat, tapi tak mereka cari.
“Masih juga mereka tidak mengerti / kekekalan terbentang di tapak-tapak kaki”
Ada kritik sosial dan moral terhadap gaya hidup manusia modern yang hedonis, rakus, dan kehilangan arah spiritual, serta terus hidup dalam ketidakmengertian.
Puisi ini bercerita tentang perbedaan antara mereka yang telah meninggal dan mereka yang masih hidup. Yang pergi telah terbebas dari racun duniawi, sedangkan yang tinggal terus berjuang (atau malah tenggelam) dalam dosa, kerusakan moral, pencarian akan kuasa, dan kesia-siaan cinta yang tidak tulus. Mereka mengabaikan kekekalan dan tenggelam dalam fana.
Penyair menyoroti bagaimana hidup yang seharusnya menjadi jalan menuju kedewasaan spiritual, justru menjadi medan perburuan nafsu, harta, dan kuasa. Sementara itu, yang telah pergi justru mengalami kedamaian yang tak bisa dicapai oleh mereka yang masih bergulat di dunia.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah suram, getir, dan reflektif. Ada rasa kehilangan, ada kerinduan, dan ada kemarahan yang tertahan terhadap cara hidup manusia yang salah arah. Puisi ini juga memiliki suasana perenungan spiritual yang tenang sekaligus penuh teguran, seperti doa atau renungan malam yang sunyi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan utama yang disampaikan puisi ini adalah:
- Jangan terlena oleh kehidupan dunia yang penuh racun. Hidup bukan sekadar mencari kenikmatan, cinta, atau kekuasaan—tetapi tentang menyadari kekekalan yang lebih sejati.
- Hiduplah dengan kesadaran spiritual. Karena kekekalan tidak jauh, ia tersembunyi di bawah tapak kaki kita sendiri—hanya bisa dilihat oleh mereka yang sungguh-sungguh mencari.
- Kematian tidak perlu ditakuti jika hidup telah dijalani dengan penuh makna. Justru mereka yang telah pergi terbebas dari racun yang terus meracuni dunia.
Imaji
Puisi ini memuat imaji-imaji simbolik dan emosional yang sangat kuat:
- “Lorong senja” → menggambarkan transisi dari hidup menuju mati, atau kondisi hidup yang menuju akhir tapi tetap mencari makna.
- “Bintang barat berpacaran” → imaji visual yang indah, namun juga menyiratkan kemelekatan pada keindahan fana.
- “Mawar-mawar terkulai layu pucat” → imaji kuat dari cinta yang telah kehilangan kesegaran atau makna; menggambarkan dosa dan kesia-siaan.
- “Berpelukan jantan-betina sambil menari” → imaji fisik dan sensual yang mengkritik gaya hidup hedonis tanpa arah.
- “Kekekalan terbentang di tapak-tapak kaki” → imaji spiritual dan eksistensial yang menyiratkan bahwa makna terdalam dalam hidup sesungguhnya sangat dekat.
Majas
Puisi ini kaya dengan majas dan gaya bahasa simbolik, antara lain:
Simbolisme:
- “Yang pergi” → simbol kematian atau jiwa-jiwa yang telah lepas dari dunia.
- “Lorong senja” → simbol masa transisi atau masa tua menjelang kematian.
- “Mawar layu” → simbol cinta atau kehidupan yang kehilangan makna.
- “Bintang barat” → bisa dibaca sebagai simbol keindahan yang fana atau harapan palsu.
Personifikasi:
- “Kepahitan yang masih terus meracuni” → kepahitan digambarkan seperti makhluk aktif yang menyerang manusia.
- “Mawar-mawar terkulai” → bunga dipersonifikasi untuk mewakili kondisi emosional cinta.
Paradoks:
- “Yang pergi tak lagi mengalami” → menunjukkan bahwa justru dalam kematian, seseorang terbebas dari penderitaan; hal ini menyiratkan kontras tajam terhadap asumsi umum tentang kematian.
Ironi:
- Mereka yang hidup justru tidak sadar akan kekekalan, padahal itu tersembunyi begitu dekat. “Tersembunyi dari mata yang tak mau mencari”
Repetisi:
- “Masih juga mereka…” → pengulangan ini memperkuat ironi bahwa manusia tetap tidak belajar dari hidup, bahkan setelah berulang kali mengalami kegagalan atau kehampaan.
Puisi “Yang Pergi dan Yang Tinggal” karya Fridolin Ukur adalah karya puitis yang mendalam, membawa pembaca ke ruang kontemplasi tentang hidup, mati, makna, dan kesadaran spiritual. Melalui larik-larik yang padat dan simbolik, penyair menyuguhkan tema tentang kebebasan jiwa dalam kematian dan kepahitan hidup yang terus mengikat manusia yang belum menemukan makna sejati.
Dengan makna tersirat yang tajam, imaji kuat, dan majas simbolik, puisi ini menjadi renungan sekaligus teguran lembut bagi kita yang masih hidup: agar tidak larut dalam dosa dan pencarian palsu, melainkan mencari kekekalan yang tersembunyi di bawah langkah kita sendiri—dekat, tetapi butuh mata batin untuk melihatnya.