Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Lenguh Napas" karya Mustiar AR adalah sebuah karya kontemplatif yang menyentuh ruang personal sekaligus kolektif. Dalam bentang larik yang pendek namun padat, penyair menyisipkan gambaran geografi, emosi, dan trauma sejarah, menjadikan puisinya bukan hanya tentang cinta atau rindu, tetapi juga tentang identitas, kehilangan, dan luka yang tak kunjung sembuh.
Tema
Puisi ini mengangkat tema luka sejarah dan kesedihan kolektif, yang terjalin dalam perasaan pribadi yang mendalam. Mustiar AR seolah ingin menyampaikan bahwa rasa rindu dan luka tidak hanya bersifat personal, melainkan juga sosial dan geografis—ia melekat pada tempat, waktu, dan pengalaman masa lalu yang traumatik.
Secara keseluruhan, puisi ini bercerita tentang seseorang yang meresapi luka lama yang bersemayam dalam sebuah tempat. Tokoh dalam puisi itu seakan kembali ke Ujong Kalak dan Blang Pulo, dua kawasan di Aceh, untuk mengenang sesuatu yang sudah basi—mungkin cinta, mungkin trauma. Tempat-tempat itu menjadi saksi bisu dari rindu yang tidak tersampaikan atau dari luka yang tidak pernah berdamai dengan waktu.
Kata “kau mengulum senja di bibirnya” menjadi metafora awal yang kuat, seolah ada kerinduan yang dikecap secara perlahan, namun beraroma getir. Ini bukan rindu yang segar dan menggairahkan, melainkan rindu yang sudah “basi” dan melelahkan, bahkan terjerembab dalam kabut kota dan luka yang menahun.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini cukup dalam dan menggugah:
- Rindu yang tak lagi murni – Rindu dalam puisi ini bukanlah kerinduan romantik atau penuh harap, melainkan rindu yang sudah letih, basi, dan mungkin semu. Ia tidak lagi menyembuhkan, melainkan menambah beban emosional.
- Kota sebagai metafora luka kolektif – Kota yang “berkalung kabut” dan memiliki “luka menahun” mencerminkan suasana sosial atau sejarah yang belum pulih. Mungkin merujuk pada konflik masa lalu, perang, atau kekerasan yang pernah terjadi dan membekas dalam ingatan masyarakat.
- Ketakmampuan berdamai dengan masa lalu – Larik terakhir menyampaikan bahwa ada perasaan atau sejarah yang menolak untuk selesai, dan puisi ini menjadi cerminan kegelisahan itu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini murung, melankolis, dan kabur, seakan terbungkus oleh kenangan dan trauma yang tidak terjelaskan secara langsung. Ada kabut, luka, dan senja—tiga elemen yang memberi kesan kesuraman dan kelelahan emosional.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan beberapa amanat, antara lain:
- Masa lalu, jika tidak diselesaikan, akan terus menghantui—baik pada level personal maupun kolektif.
- Tempat dan waktu bisa menjadi pengingat luka, bahkan ketika tubuh sudah menjauh dari peristiwanya.
- Kerinduan bukan selalu romantik; kadang ia adalah beban yang kita warisi dari sejarah dan ruang hidup kita.
- Kita perlu berdamai, tapi tidak semua luka mau berdamai. Dan mungkin, itu harus diterima sebagai bagian dari hidup.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional. Beberapa imaji penting di antaranya:
- “Kau mengulum senja di bibirnya” → menghadirkan gambaran sensual sekaligus getir; senja di sini bisa melambangkan perpisahan, keredupan harapan, atau waktu yang tak kembali.
- “Suak Ujong Kalak birahi” → menciptakan kontras antara tempat dan hasrat; ada dorongan emosi yang kuat dalam menyebutkan geografi dengan nada sensual.
- “Blang Pulo adalah saksi bisu” → membentuk imaji tempat sebagai penyimpan rahasia dan penderitaan.
- “Kota berkalung kabut” → menghadirkan citra kota yang tak jelas, penuh keraguan, kehilangan arah.
- “Luka menahun” dan “tak mau berdamai” → membentuk imaji luka yang membatu, keras kepala, dan mengakar dalam tubuh kota.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
Metafora
- “Kau mengulum senja di bibirnya” → senja dimetaforakan sebagai sesuatu yang bisa dikulum, menunjukkan betapa waktu dan rasa diserap oleh tokoh dengan intens.
- “Kota berkalung kabut” → kabut menjadi kalung yang dikenakan kota, menggambarkan suasana suram atau ambiguitas masa kini.
Personifikasi
- “Blang Pulo adalah saksi bisu” → tempat diberi kemampuan menjadi saksi, memperkuat kesan bahwa geografi menyimpan trauma.
- “Luka menahun tak mau berdamai” → luka dipersonifikasi seolah memiliki kehendak, menyampaikan bahwa rasa sakit itu masih aktif dan menolak untuk disembuhkan.
Hiperbola
- “Luka menahun” → membesar-besarkan durasi luka untuk menekankan kedalamannya, bahwa ini bukan luka biasa, tetapi yang mengakar.
Puisi "Lenguh Napas" karya Mustiar AR adalah refleksi puitis atas luka dan kerinduan yang melekat pada ruang dan waktu, yang tidak serta-merta bisa disembuhkan hanya oleh waktu. Penyair membawa kita menyusuri daerah-daerah emosional melalui nama-nama tempat yang konkret, namun diselimuti rasa getir yang tak tuntas.
Puisi ini memperlihatkan bahwa identitas dan sejarah tidak hanya tercermin dalam narasi besar, melainkan juga dalam napas-napas pendek yang melenguh—penuh beban dan perasaan yang nyaris tak terucap. Dan dalam puisi ini, perasaan itulah yang bersuara.
Karya: Mustiar AR