Puisi: Mama (Karya Jami’atul Hidayah)

Puisi "Mama" karya Jami’atul Hidayah bercerita tentang seorang anak yang merasa tidak diperlakukan adil oleh ibunya. Ia melihat bahwa sang ibu ...

Mama

Mamaku baik...
Tapi tidak kepadaku
Aku rasa belum, bukan tidak
Beliau sering membagikan makanan pada orang lain
Tanpa perhitungan sedikitpun
Tetapi denganku selalu dihitung
Beliau sering membagikan uang kepada orang lain
Tetapi, tidak denganku
Entah salah apa yang kubuat
Entah masalah apa yang dia punya
Tak pernah mengobrol bersama
Perdebatan setiap hari
Diam adalah solusi terbaik
Karna membangkang bisa masuk neraka

2022

Analisis Puisi:

Puisi berjudul "Mama" karya Jami’atul Hidayah merupakan salah satu karya yang berbicara lantang dari ruang batin yang terluka—ruang yang jarang dibicarakan, terutama dalam budaya yang cenderung memuliakan ibu secara absolut tanpa ruang kritik atau kejujuran. Dalam bentuknya yang sederhana, puisi ini menyuarakan pengalaman pribadi anak terhadap ibunya, yang penuh ketimpangan kasih sayang dan komunikasi yang tidak sehat. Jami’atul Hidayah, melalui larik-larik lugasnya, menuliskan sebuah potret kecil yang menyayat tentang relasi keluarga yang tidak semua orang berani akui: seorang anak yang merasa diabaikan oleh ibunya sendiri.

Tema

Puisi ini mengangkat tema relasi yang renggang antara anak dan ibu, serta perasaan terasing dalam lingkup keluarga sendiri. Tema ini sangat kuat dan menyentuh karena menyentuh ranah paling intim dari kehidupan manusia—keluarga. Di dalamnya terdapat ketidaksetaraan dalam kasih sayang, kebingungan anak atas sikap sang ibu, dan usaha mencari pemahaman dari sesuatu yang tampak tak masuk akal.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang merasa tidak diperlakukan adil oleh ibunya. Ia melihat bahwa sang ibu murah hati kepada orang lain—dalam bentuk makanan, uang, dan kebaikan—tetapi tidak demikian kepada dirinya. Sang anak merasa selalu diperhitungkan, jarang diajak bicara, dan sering terlibat perdebatan. Hubungan yang seharusnya hangat menjadi dingin, tegang, dan memunculkan luka batin. Pada akhirnya, sang anak memilih diam sebagai solusi, karena ada ketakutan religius: “membangkang bisa masuk neraka.”

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat kompleks. Di satu sisi, puisi ini menunjukkan kerinduan anak untuk dicintai dan diperlakukan adil oleh orang tuanya, khususnya ibunya. Namun di sisi lain, juga terdapat kekeliruan sistem nilai yang ditanamkan sejak dini: bahwa membantah orang tua, meskipun dalam konteks mencari keadilan atau pemahaman, adalah dosa besar.

Puisi ini juga menyiratkan konflik antara nilai budaya/religius dengan kebutuhan emosional anak. Anak dituntut tunduk dan diam atas perlakuan tidak adil, dengan dalih bahwa membangkang pada ibu berarti durhaka. Hal ini menyoroti betapa anak sering kali tidak punya ruang untuk menyuarakan luka atau kecewaannya, bahkan terhadap orang tuanya sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini getir, dingin, dan penuh luka batin yang terpendam. Ada rasa kecewa, kebingungan, dan kesepian yang dibalut dalam nada tenang, bahkan datar. Tapi di balik ketenangan itu, pembaca bisa merasakan amarah yang tak bisa diucapkan, karena dibenturkan pada norma yang menuntut anak untuk selalu patuh.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang tersirat dari puisi ini sangat kuat dan menyentuh:
  • Tidak semua kasih sayang itu adil, dan tidak semua orang tua memahami kebutuhan emosional anak.
Puisi ini menyuarakan pentingnya komunikasi yang jujur dalam keluarga, serta kebutuhan anak untuk diperlakukan sebagai manusia yang memiliki rasa, bukan hanya sebagai objek tanggung jawab. Ia juga mengkritik secara halus narasi religius yang sering kali membuat anak merasa bersalah untuk menyuarakan keluhan atau rasa sakitnya terhadap orang tua.

Amanat lain yang bisa dibaca adalah:
  • Diam bukanlah solusi, dan luka dalam keluarga perlu ditangani, bukan disimpan.

Imaji

Puisi ini menyajikan imaji keseharian yang sangat realistis dan mudah dibayangkan:
  • “Beliau sering membagikan makanan pada orang lain / tanpa perhitungan sedikitpun / tetapi denganku selalu dihitung” – menyampaikan ironi dan ketimpangan dengan sangat visual. Pembaca bisa membayangkan momen-momen ketika sang ibu bersikap dermawan kepada tetangga atau tamu, tapi pelit kepada anaknya sendiri.
  • “Tak pernah mengobrol bersama / Perdebatan setiap hari” – menggambarkan suasana rumah yang tegang dan miskin kehangatan emosional.
  • “Diam adalah solusi terbaik” – menggambarkan pilihan terakhir dari jiwa yang lelah dan tertekan.

Majas

Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang sangat lugas dan nyaris tidak simbolik, tetapi terdapat beberapa unsur majas yang menyelusup:
  • Paradoks: “Mamaku baik… tapi tidak kepadaku” – sebuah pernyataan kontradiktif yang menyampaikan ironi emosional.
  • Ironi: ibu yang dermawan kepada orang lain, tetapi pelit kepada anaknya sendiri.
  • Repetisi: pengulangan “sering membagikan…” untuk menekankan perbedaan perlakuan antara orang luar dan anak sendiri.
  • Litotes (pernyataan yang merendahkan): “Aku rasa belum, bukan tidak” – bentuk meredam perasaan agar tidak terdengar menuduh, walaupun rasa sakitnya jelas.
Puisi "Mama" karya Jami’atul Hidayah adalah suara jujur dari ruang domestik yang sering kali dibungkam: relasi ibu-anak yang tidak ideal. Dengan tema tentang ketidakadilan dalam kasih sayang, puisi ini bercerita tentang luka batin seorang anak yang merasa asing dalam rumahnya sendiri. Makna tersiratnya memperlihatkan kritik terhadap budaya yang membungkam suara anak dengan dalih moral dan agama. Imaji dan bahasa yang sederhana menjadikan puisi ini terasa nyata dan menyentuh, seperti keluhan yang ditulis diam-diam di buku harian oleh seorang anak yang mendamba cinta, tapi menerima hitungan.

Dalam kesederhanaannya, Mama adalah puisi yang kuat. Ia menggugat norma, tapi tidak dengan amarah, melainkan dengan diam yang menyakitkan. Sebuah puisi pendek yang menggugah kesadaran: bahwa cinta dalam keluarga pun perlu dibicarakan, dibagikan, dan dipahami.

Jami’atul Hidayah
Puisi: Mama
Karya: Jami’atul Hidayah

Biodata Jami’atul Hidayah:
  • Jami’atul Hidayah lahir pada tanggal 17 Desember 2004 di Brebes, Jawa Tengah, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.