Pulanglah Nang
pulanglah nang
jangan dolanan sama si kuncung
si kuncung memang nakal
nanti bajumu kotor lagi
disirami air selokan
pulanglah nang
nanti kamu menangis lagi
jangan dolanan sama anaknya pak kerto
si bejo memang mbeling
kukunya hitam panjang-panjang
kalau makan tidak cuci tangan
nanti kamu ketularan cacingan
pulanglah nang
kamu kan punya mobil-mobilan
kapal terbang bikinan taiwan
senapan atom bikinan jepang
kamu kan punya robot yang bisa
jalan sendiri
pulanglah nang
nanti kamu digebugi mamimu lagi
kamu pasti belum tidur siang
pulanglah nang
jangan dolanan sama anaknya mbok sukiyem
mbok sukiyem memang keterlaluan
si slamet sudah besar tapi belum disekolahkan
pulanglah nang
pasti papimu marah lagi
kamu pasti belum bikin PR
belajar yang rajin
biar nanti jadi dokter.
Solo, September 1986
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Pulanglah Nang" karya Wiji Thukul merupakan salah satu karya yang memotret ironi kehidupan sosial, terutama ketimpangan kelas dalam masyarakat. Dengan gaya sederhana, lugas, dan penuh pengulangan, penyair menghadirkan suara seorang orang tua yang menasihati anaknya agar tidak bergaul dengan teman-temannya dari kalangan bawah. Justru di balik kesan sederhana itu, tersimpan kritik sosial yang tajam.
Tema
Tema utama puisi ini adalah ketimpangan sosial dan kritik terhadap pola asuh dalam masyarakat kelas menengah. Penyair menyoroti adanya jarak antara anak-anak yang “berpunya” dengan anak-anak kecil dari keluarga sederhana yang dipandang buruk oleh orang tua dari kelas menengah.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang selalu dinasihati orang tuanya untuk segera pulang dan tidak bermain dengan teman-teman sebaya dari keluarga miskin. Orang tua itu khawatir anaknya menjadi kotor, sakit, ketularan kebiasaan buruk, bahkan dimarahi oleh orang tua lain karena tidak menuruti aturan rumah. Di sisi lain, anak itu sebenarnya punya mainan modern, tetapi tetap memilih bermain dengan anak-anak kampung.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kelas sosial yang timpang. Orang tua dari kelas menengah cenderung meremehkan anak-anak dari keluarga sederhana, padahal justru di situlah ada kehidupan yang nyata, penuh kebersahajaan, dan apa adanya. Penyair seakan ingin menunjukkan bahwa logika orang tua tersebut bukanlah sekadar nasihat, melainkan juga cermin diskriminasi sosial yang ditanamkan sejak dini.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini adalah penuh ironi, getir, sekaligus satir. Sekilas puisi terdengar seperti nasihat biasa, tetapi di baliknya ada nada sindiran terhadap gaya hidup yang mengutamakan status sosial dan material daripada nilai persaudaraan dan kesederhanaan.
Amanat / pesan yang disampaikan puisi
Pesan yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa masyarakat harus waspada terhadap pola pikir yang membatasi pergaulan berdasarkan kelas sosial. Penyair ingin menyampaikan bahwa diskriminasi yang diwariskan sejak kecil hanya akan memperlebar jurang sosial. Selain itu, anak-anak seharusnya bebas bermain dan belajar nilai kehidupan, bukan dibatasi oleh gengsi atau status ekonomi.
Imaji
Beberapa imaji yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Imaji visual: “bajumu kotor lagi, disirami air selokan”, menggambarkan suasana bermain anak-anak kampung.
- Imaji indrawi (sentuhan): “kukunya hitam panjang-panjang” menghadirkan gambaran fisik yang jelas.
- Imaji benda: “mobil-mobilan, kapal terbang bikinan Taiwan, senapan atom bikinan Jepang, robot” memperlihatkan perbedaan antara anak kelas menengah yang memiliki mainan modern dengan anak miskin yang hanya bermain di jalanan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Repetisi – pengulangan kata “pulanglah nang” di setiap bait menekankan nada perintah dan pengekangan.
- Ironi – meskipun orang tua merasa melindungi anak, justru sikapnya menunjukkan diskriminasi sosial.
- Sarkasme halus – “mbok sukiyem memang keterlaluan, si slamet sudah besar tapi belum disekolahkan” menjadi sindiran terhadap kemiskinan sekaligus terhadap sistem sosial yang tidak adil.
- Simbolik – mainan modern seperti “kapal terbang bikinan Taiwan” dan “robot yang bisa jalan sendiri” melambangkan kemewahan, kontras dengan kesederhanaan anak kampung.
Puisi "Pulanglah Nang" karya Wiji Thukul adalah potret tajam tentang kelas sosial, diskriminasi, dan pola pikir orang tua kelas menengah yang cenderung membatasi pergaulan anak-anaknya. Dengan gaya bahasa sederhana dan repetitif, Wiji Thukul menyampaikan kritik sosial yang kuat, mengingatkan kita bahwa anak-anak seharusnya dibiarkan bebas bermain tanpa batasan status ekonomi. Melalui puisi ini, pembaca diajak merenungkan bahwa kebersahajaan hidup masyarakat kecil justru menyimpan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak dimiliki oleh kemewahan materi.
