Senandung Kampung Halaman
Kemarau garang 'lah berlalu
Awan menghantu, kelu daun bambu
Angkasa senja bunuh beribu bintang
Ketika ranum purnama mesti mengambang
Gemuruh guruh di punggung perbukitan
Dan lenguh kerbau rancah kubangan
Bagi kami petani adalah seruan
Renggutkan diri dari tawanan kelaparan
Inilah saat lupakan
Meja judi dan kalangan randai
Dan cangkul diayunkan
Bedah jemu terus membelai
Semusim diperam dalam lumpur
Dalam harap kerasnya umur
Semusim pendam kasih yang resah
Dalam keringat suburkan tanah
Dan menggelepar burung punai
Tiupkan nyawa dibulir padi
Dipanah topan, petir dan renai
Kokohkan tubuh cinta yang bersemi
Mekar masa-masa menuai
Hanya layu di lembah mati
Datang meruah harum ketan padi gunung
Panggil bujang dirantau tiup salung
Cari pekayuan di hutan lindungan naga
Rombak rumah tua jejak tanah sengketa
Kini matahari bertingkah jantan
Dan bumi cium alam restui kehadiran
Kentalkan gula cempedak dan rambutan
Kentalkan nira lesung pipit perawan
Demikianlah telah bermusim hadirku, telah dingin darahku
Celoteh undan dan merbah senja ancam-cemaskan daku:
Bila pikun dan encok gerogoti tubuhku
Masihkah aku melintas-lintas pematang dan munggu
Remas lumpur sawah pusaka turunan
Rintis hutan teruka tanah-perawan
Ataukah dengan tongkat di tangan sebagai pendurhaka
Terhuyung didera salju kota Wina
Kumat suarakan sajak-sajak penyair dunia
Atau luluh larat diserap simponi kota Praha
Atau sendirian di perahu merentang benang
Di pojok Teluk Donggala yang tenang
Ataukah aku terhenyak bersandar murung
Diselimuti pucatnya lampu-lampu warung
Dan selalu sepak meja berteriak tinggi
Kopi, kopi segelas lagi!
1964
Sumber: Horison (Juni, 1967)
Analisis Puisi:
Puisi "Senandung Kampung Halaman" karya Chairul Harun merupakan sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan di kampung halaman dengan kekayaan imaji dan ekspresi yang mendalam.
Tema dan Motif: Puisi ini memusatkan perhatian pada kehidupan di kampung halaman, menggambarkan perjuangan dan kehidupan sehari-hari para petani. Tema utamanya mencakup kekeringan, kerja keras petani, keindahan alam, dan perubahan musim. Motifnya mencakup unsur-unsur alam seperti kemarau, awan, bulan purnama, guruh, dan kerbau, yang semuanya memberikan dimensi tersendiri pada pengalaman hidup di kampung.
Citra dan Metafora: Chairul Harun menggunakan citra dan metafora dengan sangat indah dalam puisinya. Contohnya, "Gemuruh guruh di punggung perbukitan" memberikan gambaran tentang kekuatan alam yang mengguncang. Puisi juga menggambarkan "lumpur" sebagai simbol kesuburan dan keringat sebagai usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil panen.
Perjuangan dan Kesejahteraan: Puisi ini mencerminkan perjuangan petani dalam menghadapi kemarau dan kelaparan. Ada panggilan untuk melepaskan diri dari kondisi sulit dan mengejar kehidupan yang lebih baik. Namun, di tengah perjuangan itu, terdapat juga harapan dan kebahagiaan yang diperoleh dari hasil panen dan kerja keras.
Keindahan Alam dan Kehidupan Tradisional: Puisi ini merayakan keindahan alam dan kehidupan tradisional. Gambaran tentang matahari, bumi, gula cempedak, dan nira lesung pipit perawan menggambarkan kekayaan alam dan tradisi lokal yang dihargai oleh penyair.
Identitas dan Kritik Sosial: Penyair mengekspresikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan kehilangan identitas dan budaya dalam masyarakat modern. Dalam beberapa baris terakhir, ada pertanyaan tentang apakah penyair akan tetap setia pada akarnya atau terhanyut dalam kemajuan dan pengaruh budaya asing.
Gaya Bahasa dan Ritme: Chairul Harun memanfaatkan gaya bahasa yang kaya dan ritme yang indah untuk membentuk ekspresi sastra yang memikat. Pilihan kata, penggunaan rima, dan aliran puisi ini menciptakan suatu keharmonisan yang memperkaya pengalaman pembaca.
Kehidupan Kota vs Kampung: Puisi ini juga mengeksplorasi perbandingan antara kehidupan di kampung dan kehidupan di kota. Ada pertentangan antara keindahan alam dan kehidupan tradisional dengan kemungkinan ketidaksetiaan terhadap akar budaya di tengah-tengah kehidupan urban yang modern.
Dengan kata lain, "Senandung Kampung Halaman" bukan hanya sekadar puisi deskriptif tentang kehidupan di kampung halaman, tetapi juga menyelami makna filosofis dan identitas budaya dalam perjalanan kehidupan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan yang mungkin terabaikan di tengah gemerlap perkembangan zaman.
Karya: Chairul Harun
Biodata Chairul Harun:
- Chairul Harun lahir di Kayutanam, Sumatra Barat pada bulan Agustus 1940.
- Chairul Harun meninggal dunia di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 19 Februari 1998.