Puisi: Saat Matahari Menghitam (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Saat Matahari Menghitam" membawa pembaca ke dalam perjalanan puitis yang membingkai pengalaman manusia di tengah-tengah alam dan kehidupan.
Saat Matahari Menghitam


Aku masih di bawah pohon waru
menunggu angin gugurkan kelopak bunga
bercakap dengan cuaca simpan cahaya
bercakap dengan musim simpan rajah kala
bercakap dengan masa lalu simpan bebatu.

Ada erang dalam orang tanpa masa depan
mimpinya cabik direntang di awang-awang
sementara matahari mulai menghitam.

Aku masih di bawah pohon waru
menulisi nisan waktu dengan aksaraku
matahari kian menghitam
di tabir uap darah anyir sepanjang pesisir
darah para martir.


Bogor, September 2002

Analisis Puisi:
Puisi "Saat Matahari Menghitam" karya Diah Hadaning merangkum sebuah pengalaman yang penuh makna dan mendalam.

Lokasi Fisik dan Simbolisme Alam: Puisi dimulai dengan gambaran fisik penulis yang berada di bawah pohon waru, menunggu angin gugurkan kelopak bunga. Pohon dan bunga di sini dapat diartikan sebagai simbol alam dan kehidupan. Cuaca, musim, dan masa lalu juga disematkan dengan makna khusus, menciptakan atmosfer puitis yang kaya.

Dialog dengan Alam: Penulis tampaknya berdialog dengan alam, bercakap dengan cuaca, musim, dan masa lalu. Dialog ini mencerminkan hubungan yang erat antara manusia dan alam serta kemampuan penulis untuk meresapi dan merasakan elemen-elemen alam sebagai bagian dari pengalaman hidupnya.

Gambaran Orang Tanpa Masa Depan: Ekspresi "Ada erang dalam orang tanpa masa depan" menggambarkan keadaan keputusasaan atau penderitaan dalam diri manusia yang merasa kehilangan arah atau harapan. Pernyataan ini menyoroti tema kesulitan dan kegelapan dalam kehidupan.

Mimpinya Cabik di Awan-Awan: Potongan ini memberikan gambaran visual tentang mimpi yang tercabik atau terpencar di awan-awan. Ini mungkin mencerminkan perasaan putus asa dan kegagalan, di mana harapan dan cita-cita hancur dan terlempar di kehampaan.

Matahari yang Menghitam: Matahari yang menghitam menjadi elemen sentral dalam puisi ini. Ini bisa menjadi metafora dari kegelapan atau bencana, menciptakan suasana mencekam dan memunculkan simbol darah anyir sepanjang pesisir. Kemungkinan, ini juga merujuk pada peristiwa tragis atau kehilangan besar.

Simbolisme Waktu: Pemilihan kata "nisan waktu" menyoroti simbolisme waktu yang mendalam. Penulis menciptakan gambaran tentang menulis di nisan waktu, mungkin merujuk pada pencatatan atau penghormatan terhadap peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.

Darah Para Martir: Pernyataan terakhir menyentuh tema kekerasan atau perjuangan yang merugikan para martir. Darah yang menyelimuti pesisir bisa menjadi simbol pengorbanan atau konflik yang meninggalkan bekas luka di sepanjang garis pantai.

Struktur dan Gaya Bahasa: Puisi ini mengadopsi struktur bebas, dan gaya bahasa Diah Hadaning yang khas, dengan penggunaan kata-kata yang penuh warna dan ekspresif. Bahasa puitisnya memperkaya makna puisi dan membangun nuansa yang khas.

Puisi "Saat Matahari Menghitam" membawa pembaca ke dalam perjalanan puitis yang membingkai pengalaman manusia di tengah-tengah alam dan kehidupan. Puisi ini penuh dengan simbolisme, mengeksplorasi tema-tema gelap, kehilangan, dan pengharapan yang tercabik-cabik. Diah Hadaning berhasil menghadirkan karya yang mendalam dan sarat makna.

"Puisi: Saat Matahari Menghitam (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Saat Matahari Menghitam
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.