Relevansi Hadis tentang Haid terhadap Keadilan Perempuan

Dalam Islam, aturan terkait haid dapat ditemukan dalam hadis dan juga Al-Qur'an. Adapun segenap aturan tentang haid dari ketentuan warna, waktu dan ..

Haid adalah siklus biologis alami yang diberikan oleh Allah SWT kepada perempuan dalam kelangsungan kesehatan reproduksi perempuan yang diatur oleh hukum-hukum Islam untuk menentukan tata cara ibadah dan interaksi sosial selama periode tersebut.

Dalam Islam, aturan terkait haid dapat ditemukan dalam hadis dan juga Al-Qur'an. Adapun segenap aturan tentang haid dari ketentuan warna, waktu dan batasan-batasannya yang begitu rumit dengan mengingat kondisi siklus perempuan berbeda-beda, maka peraturan tersebut dapat dipertanyakan efektifitasnya untuk dijalankan.

Salah satu hadis yang menerangkan tentang haid adalah hadis riwayat Imam al-Bukhari, No. 293, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab: al-Haid, Bab: Tark al-Haid as-Shaum sebagai berikut:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي زَيْدٌ هُوَ ابْنُ أَسْلَمَ ، عَنْ عِيَاضٍ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرِ إِلَى المُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ» فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلِ وَدِينِ أَذْهَبَ لِلبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ»، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَلَيْسَ شَهَادَةُ المَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ » قُلْنَ : بَلَى، قَالَ: «فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ : بَلَى، قَالَ: «فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

"Sa'id bin Abu Maryam menyampaikan kepada kami dari Muhammad bin Ja'far yang mengabarkan dari Zaid bin Aslam, dari 'Iyad bin 'Abd Allah, dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa pada saat Idul Adha atau Idul Fitri Rasulullah SAW keluar menuju tempat shalat. Beliau kemudian melewati beberapa perempuan dan berkata: wahai kaum perempuan bersedekahlah kalian. Sebab, telah diperlihatkan kepadaku bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Mereka bertanya: karena apa, Rasulullah? Beliau menjawab: sebab, kalian sering mengutuk dan mengingkari kebaikan suami. Kalian adalah makhluk yang akal dan agamnya kurang, tetapi mampu menghilangkan akal sehat seorang laki-laki tegas. Mereka kembali bertanya: apa kekurangan agama dan akal kami, ya Rasulullah? Beliau menjawab: bukankah kesaksian kalian itu hanya setengah dari kesaksian laki-laki? Mereka menjawab: benar. Rasulullah SAW berkata: itulah salah satu kekurangan akalnya. Dan, bukankah jika kalian haid, kalian tidak puasa dan tidak shalat? Mereka menjawab: benar. Beliau SAW bersabda: itulah sebagian kekurangan agamanya."

Berangkat dari hadis di atas, ada anggapan bahwa perempuan itu kurang akal dan kurang agama. Hal itu diperparah dengan berkembangnya berbagai mitos di masyarakat. Mulai dari mitos penciptaan perempuan dari tulang rusuk sampai mitos-mitos terkait menstruasi.

Sebagian dari mitos-mitos misogini tentang perempuan itu diakui kebenarannya oleh masyarakat, sehingga menjadi legitimasi langgeng atas sistem patriarki yang terjadi di masyarakat.

Relevansi Hadis tentang Haid terhadap Keadilan Perempuan

Nabi menolak keras budaya Yahudi yang tidak mau makan bersama dengan istri mereka yang sedang haid. Justru, Nabi mandi bersama istri beliau yang sedang haid, dan tidur satu selimut dengan mereka. Nabi pernah minum dan menempelkan mulutnya di gelas bekas 'Aisyah yang sedang haid saat minum. Begitu juga, Nabi menggigit daging di tempat bekas gigitan 'Aisyah. Bahkan, Nabi menganjurkan perempuan yang sedang haid untuk ikut hadir dalam khutbah dan perayaan (Idul Fitri dan Idul Adha). Perintah ini merupakan sesuatu yang tidak lazim pada saat itu, yakni saat laki-laki dan bahkan perempuan sendiri menabukan bergabungnya perempuan haid bersama masyarakat dalam acara-acara besar.

Banyak hadis yang menerangkan tentang haid membuktikan bahwa haid sama sekali tidak menjadi alat untuk menistakan perempuan. Melalui penuturan para Umm al-Mu'minin, Nabi memperlakukan istri beliau secara adil dan manusiawi. Beliau melakukan apa saja terhadap istrinya kecuali berhubungan seksual (jima'). Sebab itu, perlu adanya perubahan sikap dan apresiasi masyarakat, mengenai hak-hak perempuan baik dalam masyarakat maupun keluarga.

Upaya mengubah pandangan masyarakat, khususnya kaum laki-laki terhadap perempuan, ada yang bersifat radikal (revolusioner) ada pula yang bersifat evolusioner (evolutif). Perubahan kedua ini ditempuh dengan membuat counter-discourses, seperti dengan mengadakan pelatihan.

Pada dasarnya perempuan dan laki-laki mempunyai persamaan hak dan derajat di muka undang-undang. Itu perlakuan konstitusional, karena persamaan hak adalah masalah konstitusional, bukan teologis.

Dengan kata lain, jika melihat Islam hanya secara normatif, bisa saja itu berbeda dengan hak asasi manusia. Namun, yang terpenting adalah apakah dalam masyarakat kaum muslim, kedudukan perempuan dan laki-laki itu sama di muka hukum, secara konstitusional maupun legal.

Melalui penuturan para Umm al-Mu'minin, Nabi memperlakukan istri beliau secara adil dan manusiawi. Dengan demikian, adanya diskriminasi terhadap perempuan yang mengalami haid (menstruasi) dalam tradisi-tradisi tertentu itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi SAW.

Walaupun agama melarang untuk melaksanakan beberapa ibadah tertentu bagi perempuan haid, tetapi pelarangan itu bukan dimaksudkan untuk mendiskreditkan perempuan. Melainkan, pelarangan itu sebagai bentuk keringanan yang diberikan agama kepada perempuan demi kemaslahatan, agar perempuan tidak memiliki beban ganda. Hukum ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perempuan.

Penulis: Zamma Alfi Fath

© Sepenuhnya. All rights reserved.